puisi ini, terunutuk keluargaku tercinta. berkat kalian, sekarang aku jadi pecandu kopi.
Atap – atap joglo nampak jelas di bawah sisa cahaya bulan
Ketika wanita kecil pembuat kopi meraba raba petromak
memegang alu, menyiapkan lesung
menumbuk sisa kopi dari lumbung sebelah
Ketika pria tambun berwajah garang dengan mata berkunang
memikul keranjang kosong
mengais sedikit kopi
di kebun majikan keji
Ketika seorang bayi menangis menjerit
meminta setetes susu dari ibu
tapi diberi sesendok kopi
Lalu
Dosakah aku, yang setiap hari meminta secangkir kopi
Dosakah aku, yang membiarkan peluh ayah mengalir saat pulang memanen kopi
Dosakah aku, yang hanya melihat ibu menangis saat lumbung kopi kosong
Orang bilang aku tak punya hati
Namun, aku diam membisu membatu
menunggu waktu
Ya, inilah aku sang makhluk bermata kopi
Tiap hari bekerja dalam ruang pengap
mengeluh tentang kotornya metropolitan
bersaing demi sebuah kemenangan
tanpa aroma khas yang dulu menjadi kesukaan
Ayah, Ibu, bersabarlah
Orang yang kau besarkan dengan secangkir kopi pahit
Tak lama lagi akan membawakanmu segenggam gula
Agar kau bisa merasakan nikmatnya hidup
0 komentar:
Posting Komentar