Jumat, 27 Desember 2013 0 komentar

Sob, aku melihatmu dengan sederhana.

26 Desember 2004

Tragedi Tsunami yang melululantahkan jagad aceh, diakui dunia sebagai bencana yang maha dasyat. tidak hanya harta benda, banyak sanak saudara yang hilang. Peristiwa itu sungguh membekas.

26 Desember 9 tahun setelah itu,

Sempat berfikir, aku tidak mau tragedi yang menurutuku adalah mimpi buruk, seolah2 datang menghampiri. aku tidak mau kehilangan sahabat ataupun jauh darinya.

Pagi menyapaku sinis. aku membusung lesu. tak biasanya, orang seceria ini bisa linglung. dan aku tambah bingung ketika orang yang aku kira lebih ceria dari aku, juga membatu.
Sepatah duapatah kata, dengan iseng kulontarkan tiba - tiba. hasilnya nol. akupun emulai cerita tentang bagaimana aku pagi itu. cerita selesai, aku diam. sahabatku juga membisu seolah - olah tidak peduli. tanpa kusadari, ia pergi. sempat berfikir, apakah aku seorang pengecut peminta empati? tak berapa lama, secarik kertas disodorkannya. buletin sekolah bertajuk islami. sempat kubaca sedikit. aku paham maksud semuanya. lalu, senyum tersungging. begitupun dia.  terimakasih sob!


aku melihatmu dengan sederhana
seperti ilalang yang bebas bergerak ditiup angin
yang tumbuh saat butuh
yang hijau saat lesu

aku mendukungmu dengan sederhana
seperti spongbob dengan patrick
sukarno dengan hatta
seperti  aku
mendukung diriku sendiri

itulah aku, yang sederhana membutuhkan teman. tak usah banyak cakap, tapi cakap menyediakan dan membantu apa yang dibutuhkan. 


Reade more >>
0 komentar

Sajak Keluarga Kopi

puisi ini, terunutuk keluargaku tercinta. berkat kalian, sekarang aku jadi pecandu kopi.
 
Atap – atap joglo nampak jelas di bawah sisa cahaya bulan
Ketika wanita kecil pembuat kopi meraba raba petromak
memegang alu, menyiapkan lesung
menumbuk sisa kopi dari lumbung sebelah

Ketika pria tambun berwajah garang dengan mata berkunang
memikul keranjang kosong
mengais sedikit kopi
di kebun majikan keji

Ketika seorang bayi menangis menjerit
meminta setetes susu dari ibu
tapi diberi sesendok kopi

Lalu
Dosakah aku, yang setiap hari meminta secangkir kopi
Dosakah aku, yang membiarkan peluh ayah mengalir saat pulang memanen kopi
Dosakah aku, yang hanya melihat ibu menangis saat lumbung kopi kosong
Orang bilang aku tak punya hati
Namun, aku diam membisu membatu
menunggu waktu

Ya, inilah aku sang makhluk bermata kopi
Tiap hari  bekerja dalam ruang pengap
mengeluh tentang kotornya metropolitan
bersaing demi sebuah kemenangan
tanpa aroma khas yang dulu menjadi kesukaan

Ayah, Ibu, bersabarlah
Orang yang  kau besarkan dengan secangkir kopi pahit
Tak lama lagi akan membawakanmu segenggam gula
Agar kau bisa merasakan nikmatnya hidup
Reade more >>
0 komentar

Penjaga Kamar Mandi


hehe, puisi usang setengah tahun yang lalu

Di sudut kamar mandi
Tak seorang kan temani
Bukan 
juga kau

Kamar mandi terlalu ramai
air yang mancur 
dari keran
ikan yang sibuk berenang
laba – laba yang menari dekat pintu
tetap ada

Aku berbicara 
sendiri
Seperti seorang ibu
Yang menemani anaknya  makan
Banyak Tanya
Banyak senyum

Aku butuh air hangat
Aku lupa mandi
Padahal berjam-jam 
termenung
Di depan bak mandi
Reade more >>
0 komentar

Naif

ajari aku untuk naif
seperti abang menyayangi adiknya
seperti ibu menyayangi anaknya

atau ajari aku untuk menjadi penipu
yang berkata iya
saat hati tak mengiyakan



Reade more >>
0 komentar

Aku Bukan Pujangga

aku memang bukan chairil, ataupun rendra. tapi kelak, karyaku akan menggemparkan dunia
ibarat sebuah perlombaan balap, finish tinggal beberapa meter lagi. sedangkan setahun, bahkan dua atau tiga tahun yang lalu, disaat perlombaan ini belum mulai, aku masih seperti remaja pada umumnya, dan siswa cupu pada khususnya. wkwk. saat itu, aku merasa menulis itu asyik. tapiii, 

kejadian itu berawal ketika aku masuk kelas 11. hal yang sama terulang ketika aku kelas 8 di sebuah smp di kota garam yang (katanya) unggulan. bedanya, kalo dulu masuk kelas unggulan dengan kolega yang saling support. sedang sekarang, saling membunuh.#dasar aku alay

semenjak itu, aku ga pernah menulis lagi. jiwa pujanggaku seolah - olah mati suri. aku rindu taburan metafor yang (dulu) selalu menghiasi lisanku. aku yang sekarang bagai paradoks kucing schrodinger, kucing setengah hidup setengah mati. aku masih hidup dengan bahagia. karena amunisi yang sejak dulu aku siapkan, terbukti ampuh untuk menjuarai perlombaan tadi, sedangkan hobi, bakatku sebagai penulis seolah - olah hilang. karena hanya sebuah paradoks yang sarat ketidakpastian, biarlah aku menentang itu. hidup bahagia, memenangi perlombaan, sekaligus menjadi penyair, apa salahnya. 


Reade more >>
 
;